UTUSAN GOLONGAN DI MPR RI
Jhohannes Marbun, M.A
Peneliti Senior Nusantara Centre Jakarta
Ada 2 (dua) permasalahan yang muncul akibat adanya gerakan reformasi yang bertujuan mengakhiri rezim orde baru, memperbaiki dan menata kembali sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pertama, Orde Reformasi melakukan pengingkaran sejarah terhadap fakta pendirian negara republik Indonesia dalam membangun sistem ketatanegaraan (asli) Indonesia. Kedua, Orde Reformasi menjauhkan PANCASILA sebagai sumber dari segala sumber hukum dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan menjadi ajang kontestasi masuknya kepentingan, ideologi maupun pengaruh asing dalam penyusunan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Gerakan reformasi telah berubah menjadi gerakan desoehartoisasi. Setiap produk ketatanegaraan yang berlaku pada masa orde baru dianggap sebagai produk rezim soeharto, tidak baik dan harus dihapuskan. Salah satunya utusan golongan dianggap sebagai produk rezim Soeharto demi melanggengkan kekuasaan orde baru. Padahal, rezim orde baru tidak menghapuskan hal-hal mendasar mengenai ketatanegaraan yang telah dihasilkan para pendiri bangsa maupun rezim orde lama, walau ada yang kemudian dibelokkan untuk memperkuat pelanggengan kekuasaan rezim orde baru. Seharusnya orde reformasi ‘meluruskan’ kembali, memperbaiki dan memperkuat sistem yang telah ada menyesuaikan dengan kondisi kekinian.
Bila dirunut sejarah, Negara Republik Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh anak-anak bangsa yang berasal dari berbagai organisasi baik unsur daerah, suku, agama, golongan, maupun profesi. Perjuangan melawan penjajahan yang awalnya bersifat kedaerahan, meningkat menjadi kesadaran bersama secara nasional. Salah satu tonggak penting tumbuhnya kesadaran nasional dalam sejarah meraih kemerdekaan yaitu Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Pada momentum ini, para pemuda pemudi kaum intelektual dari berbagai daerah dan suku bangsa yang beragam berkumpul dan menyatakan kebulatan tekad bersama untuk memajukan paham persatuan dan kebangsaan, dan mempercepat hubungan antara semua perkumpulan kebangsaan dalam semangat ‘ke-Indonesia-an’ melalui ikrar Sumpah Pemuda.
Dalam membangun sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menjelang dan pasca memproklamirkan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa menggali sejarah-sejarah lama nusantara guna mengetahui dan menyambungkan kembali keterikatan antar daerah ‘nusantara’ yang mengalami kolonisasi bangsa asing, mengangkat kearifan lokal, potensi sosial budaya, dan berbagai aspek lainnya yang kemudian melahirkan PANCASILA, simbol-simbol negara (bendera, bahasa, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika), dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam bingkai sistem ketatanegaraan khas Indonesia yang tidak terputus dari kejayaan kerajaan nusantara di masa lampau bahkan jauh sebelumnya.
Para pendiri bangsa sadar betul peranan dari organisasi berbagai unsur dalam memperjuangkan berdirinya republik ini dan tetap menempatkan aktor-aktor dari berbagai unsur sebagaimana disebutkan di atas, mengakomodirnya dalam konstitusi, memasukkannya sebagai unsur utusan daerah dan utusan golongan di MPR RI dan menjadikannya sebagai aktor penting dalam menentukan konstitusi, kepemimpinan nasional, haluan negara dan pembangunan nasional. Sayang sekali, Orde Reformasi justru menghapuskan unsur golongan di MPR RI seakan lupa sejarah mengenai peran dari anak-anak bangsa dari berbagai unsur, golongan, dan profesi tersebut. Untuk itu, kita perlu mengakhiri kekeliruan itu dan mengembalikan harkat dan hak melekat unsur golongan yang sebelumnya telah diatur dalam konstitusi.
Mengembalikan posisi dan peran unsur utusan golongan dan utusan daerah di MPR RI mendesak dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen yang menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), utusan Daerah dan utusan Golongan. Bahwa diperlukan perbaikan dan penguatan menyesuaikan dengan kondisi kekinian dan harmonisasi antar kelembagaan merupakan keniscayaan. Apabila konsep bikameral tetap dipertahankan, maka unsur utusan Daerah dan utusan Golongan menjadi satu kamar tersendiri dengan nama senat atau nama lain yang relevan. Selama ini Fungsi dan kewenangan senat (saat ini DPD RI) sangat pincang dibandingkan dengan kewenangan legislatif (DPR RI), maka perlu diperkuat sehingga terjadi keseimbangan. Utusan Golongan (UG) diharapkan mewakili kelompok/masyarakat profesional, adat/budayawan, pekerja, kelompok berkebutuhan khusus, kelompok rentan/minoritas lainnya. Sedangkan Utusan Daerah (UD) mewakili daerah/provinsi.
Adapun Klasifikasi UG dan UD untuk menjadi anggota MPR RI diantaranya syarat pendidikan minimal, tidak tercela, setia pada 4 hal yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, non partisan (bukan anggota atau pengurus partai politik), tidak pernah dikenakan sanksi pidana, dan persyaratan umum lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Khusus untuk UG menambahkan kriteria organisasi/ golongan yang diwakili dan kriteria personal disertai dengan syarat surat rekomendasi dari organisasi pengutus. Mekanisme keterpilihan UG diserahkan ke masing-masing kelompok golongan, sedangkan keterpilihan UD melalui proses pemilihan sebagaimana telah diatur oleh undang-undang. Pemberhentian dan pengangkatannya harus melalui aturan dan mekanisme MPR RI. Jika melakukan pelanggaran, maka mekanisme MPR yang berlaku. Selanjutnya organisasi pengutus anggota UG yang tidak lagi memenuhi syarat (karena berhalangan tetap, tidak mampu menjalankan tugas atau tidak lagi mewakili golongan atau daerahnya karena alasan organisatoris atau tindakan yang melawan hukum sebagai anggota MPR RI), menarik yang bersangkutan dan mengusulkan calon baru ke MPR RI. Tupoksinya secara umum menyuarakan kepentingan daerah atau kelompok-kelompok masyarakat yang tidak tersuarakan dengan baik oleh DPR. Relevan misalnya pembangunan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah tertinggal dan sangat tertinggal. Kelompok masyarakat termarjinalisasi, seperti masyarakat miskin kota, masyarakat adat, budayawan, berkebutuhan khusus, kelompok rentan/minoritas dan lainnya.(